![]() |
| Agus K Saputra & Didu |
_Catatan Agus K Saputra
Mataram, CatatanNTB.com - Kembali saya menerima puisi dari Didu. Sebuah kebiasaan yang kini menjadi semacam ritual persahabatan kami. Ia menulis, saya membaca, lalu kami berbagi makna di balik kata. Kali ini puisinya berjudul “Anak Sholeh”, dan seperti biasa, ada sesuatu yang lebih dari sekadar susunan larik-larik indah di dalamnya.
_Anak Sholeh_
_busur anak panah_
_menebar penjuru bumi_
_dalam sekali hentak_
_bekal doa ayah ibu_
_pelecut langkah tegap_
_menyemai kedamaian_
_bukan harta_
_bukan sanjungan_
_mutiara hidup kawan sejati_
Ketika membaca tiga bait itu, saya seolah ikut menembus ruang batin Didu yang tenang namun bergetar. Ada kekuatan yang tersembunyi di antara kesederhanaan kata. Bait-baitnya pendek, padat, namun memuat semesta makna tentang perjalanan hidup, tentang kasih orang tua, tentang nilai hidup yang tak bisa diukur oleh materi.
Dan entah kenapa, setiap kali membaca puisinya, saya selalu teringat sisi lain Didu—sosok yang kerap menyebut dirinya “duda breg,” istilah khas yang ia ciptakan untuk menyebut statusnya sebagai _single parent_. Bukan dengan nada getir, melainkan dengan semacam kelakar yang lembut, menandakan penerimaan yang penuh humor terhadap takdir hidupnya.
Bagi Didu, menulis puisi tampaknya bukan sekadar aktivitas estetika. Ia menjadikannya cermin kehidupan. Dalam “Anak Sholeh,” saya membaca jejak refleksi seorang ayah yang belajar mengasuh anak seorang diri, yang memahami betapa dalam makna doa, dan betapa panjang perjalanan seorang anak menuju kebaikan.
Bait pertama — _“busur anak panah / menebar penjuru bumi / dalam sekali hentak”_ — adalah metafora yang tajam dan jujur. Seorang anak digambarkan seperti anak panah yang dilepaskan dari busur: ia akan melesat menuju arah hidupnya sendiri.
Seorang ayah hanya bisa menarik busur itu dengan niat dan doa, lalu melepaskannya dengan ikhlas. Ada getar kehilangan, tapi juga kepercayaan. Begitulah cinta seorang orang tua sejati — melepaskan bukan berarti berpisah, melainkan memberi ruang untuk tumbuh.
Didu, saya tahu, bukan hanya menulis tentang anak. Ia menulis tentang dirinya sendiri. Tentang keikhlasan yang tumbuh perlahan dalam hidup yang ia jalani sendirian. Tentang perjalanan membesarkan anak dengan segala keterbatasan, namun penuh ketulusan.
*Doa sebagai Bekal, Bukan Sekadar Ucapan*
Bait kedua berbunyi: _“bekal doa ayah ibu / pelecut langkah tegap / menyemai kedamaian.”_ Kalimat ini begitu sederhana, tapi justru karena kesederhanaannya, ia terasa menohok. Doa orang tua menjadi “bekal” bagi anak, bukan sekadar kata-kata yang dilantunkan di ujung malam. Ia adalah energi kehidupan yang mendorong langkah si anak untuk tegak dan tangguh.
Didu, dalam kesendiriannya, barangkali telah memahami hal ini secara mendalam. Ia mungkin merasa harus menjadi dua sosok sekaligus — ayah yang keras tapi bijak, dan ibu yang lembut namun tegas. Doa menjadi satu-satunya ruang tempat ia menggantungkan harapan.
Tidak ada yang lebih nyata bagi orang tua tunggal selain keyakinan bahwa doa bisa menggantikan apa pun yang tak mampu diwujudkan oleh tangan manusia.
Maka dari itu, bait ini seakan-akan merupakan pengakuan spiritual: bahwa Didu tidak menulis tentang teori, tapi tentang realitas yang ia jalani setiap hari. Doa bukan sekadar kata — ia adalah bahan bakar kesabaran, penopang cinta, dan sekaligus pelipur lara.
Bait terakhir mungkin yang paling menggetarkan: _“bukan harta / bukan sanjungan / mutiara hidup kawan sejati.”_ Di sini, Didu seperti sedang berbicara bukan hanya kepada anaknya, tapi juga kepada dirinya sendiri — bahkan mungkin kepada dunia.
Bahwa ukuran hidup bukanlah kekayaan, bukan pula penghargaan. Hidup yang sejati adalah ketika seseorang menemukan kedamaian di dalam diri dan memiliki teman sejati yang mampu memahami perjalanan batinnya.
Didu tahu benar makna kesepian. Namun dari kesepian itu, ia menemukan kedalaman. Ia belajar bahwa kehilangan bisa menjadi sumber cahaya. Ia tahu bahwa menjadi orang tua tunggal bukanlah kekurangan, tapi kesempatan untuk memahami cinta tanpa syarat.
Saya sering melihatnya tertawa, seolah dunia tidak pernah memberatkan langkahnya. Tapi saya juga tahu, di balik tawa itu, ada semacam kesunyian yang tenang — seperti laut di pagi hari, tampak datar namun dalam.
Dan mungkin dari kedalaman itulah lahir puisi-puisi yang ia kirimkan: sebagai bentuk doa, bentuk dialog, dan bentuk pengingat bahwa hidup tidak pernah selesai untuk dimaknai.
Setiap kali Didu mengirim puisi, saya merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar komunikasi antarteman. Ia seperti sedang berbagi sebagian dirinya yang tak bisa diungkapkan dalam percakapan biasa. Puisi menjadi wadah paling jujur bagi jiwanya.
Dan saya, sebagai penerima, selalu merasa beruntung. Karena di tengah dunia yang kian bising oleh citra dan penampilan, Didu masih memilih kata-kata sebagai medium keheningan. Ia menulis bukan untuk dipuji, melainkan untuk hidup.
Melalui puisinya, saya belajar lagi tentang makna doa, tentang keberanian untuk berjalan sendirian, tentang cinta yang tak membutuhkan imbalan. “Anak Sholeh” bukan sekadar puisi tentang anak, tapi juga tentang keteguhan seorang ayah yang berusaha menjadi manusia seutuhnya — meski hanya dengan satu tangan, tapi dengan hati yang utuh.
*Kesendirian yang Tak Pernah Sepi*
Membaca “Anak Sholeh,” saya merasa Didu bukan sekadar penyair, melainkan peziarah. Ia berjalan pelan, tapi pasti. Dalam kesendiriannya, ia tidak mencari simpati, melainkan makna.
Dan mungkin, di situlah letak keindahan sejati dari puisi ini. Ia bukan tentang kehilangan, tapi tentang penerimaan. Ia bukan tentang kesedihan, tapi tentang harapan.
Didu memang menyebut dirinya “duda breg,” tapi dalam kenyataannya, ia adalah seorang ayah penuh cinta, seorang penyair yang berdamai dengan hidup, dan seorang sahabat yang tahu cara membuat keheningan menjadi rumah.
Puisi “Anak Sholeh” menjadi saksi kecil tentang bagaimana doa, cinta, dan kesederhanaan bisa menjelma menjadi karya yang abadi.
#Akuair-Ampenan, 11-11-2025

0Komentar