![]() |
Greta Thumberg |
Oleh
Zunnuraeni
Palestine, CatatanNTB.com - Beberapa waktu ini mata dunia kembali tertuju kepada pelayaran misi Freedom Flotila yang saat ini tengah berlayar menuju Gaza untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan. Meskipun misi kemanusiaan Flotilla pada Juni 2025 ini bukan yang pertama kali dilakukan para aktivis, misi kali ini tampaknya lebih banyak mendapat sorotan dunia internasional. Kehadiran Greta Thumberg pada misi Flotilla kali ini telah membawa lebih banyak mata yang menyoroti aksi kemanusiaan ini.
Bagi Greta Thumberg yang sebelumnya telah dikenal sebagai aktivis lingkungan hidup dan sangat vokal menyuarakan isu pemanasan global keberpihakannya terhadap isu kemanusiaan di Gaza telah mengubah citra baiknya 180 derajat di mata pendukung Israel. Sejak usianya yang sangat muda, Greta Thumberg telah memulai gerakan kecilnya untuk mendorong perhatian terhadap isu pemanasan global.
Aksinya untuk Mogok Sekolah Demi Iklim setiap hari jumat di depan Gedung parlemen Swedia untuk mendorong pemerintah Swedia guna menurunkan emisi karbon berdasarkan perjanjian Paris 2015 telah menginspirasi anak muda diberbagai wilayah di dunia melakukan aksi serupa. Gerakan Fridays for Future yang diikuti jutaan pelajar dan aktivis muda diberbagai negara merupakan aksi yang terinspirasi dari Greta Thumberg. Hal ini menjadikan Greta Thumbergh sebagai simbol global untuk perjuangan melawan Perubahan Iklim, bahkan membawanya menjadi satu dari “100 Most Influential People” menurut majalah Time tahun 2019.
Keberanian Greta sebagai “seorang gadis kecil” yang lantang mengkritik “orang-orang dewasa”yang duduk sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan tercermin dalam pidatonya di depan hadapan pemimpin dan delegasi negara-negara pada UN Climate Action Summit 2019 (New York). Pidatonya yang terkenal dengan sebutan “How dare you”, seakan menggambarkan kemarahan seorang gadis kecil yang seharusnya sedang menikmati sekolahnya dan mimpinya namun kehancuran ekosistem, penderitaan orang-orang karena kehancuran lingkungan disebabkan para pemimpin dunia tidak melakukan cukup bahkan jauh dari yang seharusnya untuk menyelamatkan lingkungan, memaksa gadis kecil seperti dirinya akhirnya harus berdiri dan bersuara. Hal yang seharusnya bukan menjadi bagian dari beban berat anak-anak sepertinya melainkan kewajiban dari orang-orang dewasa.
Terlepas dari perdebatan dan kontroversi atas perjuangannya atas isu pemanasan global, Greta telah menjadi sosok yang dikagumi dan menjadi semacam people darling, termasuk dari kalangan pendukung Zionisme Israel. Namun suaranya yang lantang atas penderitaan rakyat Palestina di Gaza menjadikannya sebagai musuh bagi pendukung zionisme Israel.
Sejak serangan Israel terhadap Gaza pada Oktober tahun 2024, Greta secara konsisten menyatakan opini dan sikap untuk pembebasan Palestina, genjatan senjata serta penghentian genosida terhadap rakyat Palestina membuat Greta dituding sebagai antisemit, bahkan tuduhan konyol yang menyatakan Greta adalah bagian dari Hamas. Menyusul terang benderangnya Greta menyatakan dukungan terhadap kebebasan rakyat Palestina membuat pemerintah Israel gerah dan melarang penyebutan Greta sebagai tokoh teladan dalam kurikulum pendidikan Israel.
Pada tanggal 1 Juni 2025, Greta dan aktivis perdamaian dari berbagai negara mulai melakukan pelayaran untuk kemanusiaan atau yang dikenal Gaza Freedom Flotilla. Misi ini terdiri atas sejumlah Kapal yang membawa berbagai bantuan kemanusiaan ini berlayar dari Catania, Sisilia. Greta sendiri menaiki kapal Madleen bersama Rima Hasan, seorang politisi Francis berdarah Palestina. Misi ini bukan tanpa resiko. Dari misi-misi Freedom Flotilla sebelumnya, misi ini senantiasa berada di bawah ancaman pemerintah Israel.
Misi-misi sebelumnya bukan hanya gagal membawa bantuan kemanusiaan ke dalam gaza, namun juga mendatangkan insiden yang mengakibatkan kematian aktivis. Misi Freedom Flotilla I yang berlayar pada tanggal 31 Mei 2010, mendapat serangan dari militer Israel yang mengakibatkan kematian 9 aktivis.
Apresiasi positif, dukungan dan harapan rakyat dunia yang menginginkan perdamaian bagi rakyat Palestina menyertai misi Flotilla. Namun bagi para pendukung zionisme, aksi ini justru dipandang dengan sinis dan penuh prasangka negatif.
Para pendukung zionisme memandang tindakan Greta adalah tindakan bodoh, ceroboh dan hanya ingin mencederai citra Israel. Menteri luar negri Israel bahkan merendahkan misi kemanusiaan ini dengan mengatakan aksi tersebut hanyalah sebuah gimmik publik. Ia bahkan secara provokatif menuding Greta dan aktivis lainnya sebagai anti semit yang menggaungkan propaganda Hamas.
Aksi Greta serta aktivis lainnya tentu saja bukan kebodohan atau sekedar gimik untuk mencari popularitas. Misi ini memiliki resiko tinggi, bahkan nyawa bisa menjadi taruhan, namun hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka. Sejarah telah mengajarkan bahwa resiko adalah bagian tak terpisahkan dari berbagai perjuangan kemanusiaan yang memiliki dampak penting. Perjuangan hak-hak sipil, persamaan hak bagi masyarakat kulit hitam, aksi-aksi damai menentang pemerintah otoriter hingga aksi penghapusan apartheid menunjukkan bahwa kunci untuk mencapai perubahan adalah keberanian menghadapi resiko. Resiko ini lah yang sedang diambil oleh para aktivis pada misi Flotilla.
Aksi Flotilla Gaza 2025 juga dapat dilihat sebagai suatu tindakan simbolis untuk mendorong atau bahkan meningkatkan aksi sosial dan politik dalam upaya pembebasan rakyat Palestina. Hal ini sebagaimana pendapat Gene Sharp seorang pemikir yang menuliskan teori anti kekerasan dan aktivisme, bahwa "tindakan simbolis yang berani dan damai dapat memicu perubahan sosial dan politik". Aksi ini akan menarik kembali perhatian masyarakat dunia pada Gaza, mengingatkan kembali masyarakat dunia bahwa Gaza masih mengalami masalah kemanusiaan.
Setelah satu tahun lebih invasi Israel ke wilayah Gaza, dan sempat dicapai kesepakatan genjatan senjata, rakyat Gaza masih menderita. Serangan-serangan militer serta pembatasan terhadap bantuan kemanusiaan masih terjadi. Misi Flotilla tahun 2025 seakan menjadi alarm pengingat bagi sebagian masyarakat yang sempat lupa dengan genosida yang masih berlangsung di Gaza.
Pada akhirnya, hal yang perlu diingat dalam konteks ini adalah bahwa krisis iklim dan krisis kemanusiaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Dua isu ini merupakan bagian dari keadilan global, dan Gaza juga merupakan bagian dari agenda untuk perwujudan keadilan global ini. Sebagaimana sebelumnya Greta telah berhasil menjadi simbol dari aksi anak muda untuk melawan krisis iklim, dan berhasil menginspirasi anak muda di seluruh dunia melakukan hal yang serupa, maka kini Greta akan menjadi simbol perjuangan krisis kemanusiaan. Greta mungkin akan menjadi inspirasi kembali bagi anak-anak muda lainnya untuk terus menyuarakan pembebasan rakyat Palestina. Mungkin setelah ini akan ada lebih banyak lagi anak muda yang akan menyadari bahwa perwujudan keadilan global, termasuk pembebasan dari tindakan genosida, merupakan bagian dari kewajiban moral para pemuda.
0Komentar